2.2.07

KONTROVERSI VAKSIN

Vaksin adalah sebuah senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap virus. Terbuat dari virus yag telah dimatikan atau "dilemahkan" dengan menggunakan bahan-bahan tambahan lainnya seperti formalaldehid, thymerosal dan lainnya. Sedangkan vaksinasi adalah suatu usaha memberikan vaksin tertentu ke dalam tubuh untuk menghasilkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit /virus tersebut.

Vaksin terdiri dari beragam jenis. Jenis-jenis vaksinasi yang ada antara lain vaksin terhadap penyakit hepatitis, polio, Rubella, BCG, DPT, Measles-Mumps-Rubella (MMR) cacar air dan jenis penyakit lainnya seperti influenza.



Di Indonesia, vaksinasi yang umum dilakukan pada bayi dan balita adalah Hepatitis B, BCG, Polio dan DPT. Selebihnya seperti vaksinasi MMR adalah bersifat tidak wajib. Ada pun vaksinasi terhadap penyakit cacar air (smallpox) termasuk vaksinasi yang sudah tidak dilakukan lagi di Indonesia.



Vaksin dan sistem kekebalan tubuh

Pemberian vaksin dilakukan dalam rangka untuk memproduksi sistem immune (kekebalan tubuh) seseorang terhadap suatu penyakit. Berdasarkan teori antibodi, ketika benda asing masuk seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh manusia, maka tubuh akan menandai dan merekamnya sebagai suatu benda asing. Kemudian tubuh akan membuat perlawanan terhadap benda asing tersebut dengan membentuk yang namanya antibodi terhadap benda asing tersebut. Antibodi yang dibentuk bersifat spesifik yang akan berfungsi pada saat tubuh kembali terekspos dengan benda asing tersebut.



Dr Willian Howard dari USA mengatakan bahwa tubuh telah memiliki metodenya sendiri untuk pertahanan, yang tergantung pada vitalitas tubuh pada saat tertentu. Jika vitalitas tubuh cukup, maka tubuh akan bertahan terhadap seluruh infeksi, tetapi sebaliknya jika tidak maka pertahanan akan lemah. Sesungguhnya kita tidak dapat mengubah vitalitas tubuh menjadi lebih baik justru dengan menggunakan berbagai jenis racun (vaksin) ke dalam tubuh tersebut.



Vaksin dan injauan kehalalannya

Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang diselenggarakan di Indonesia pada Agustus tahun lalu, sempat bermasalah dibeberapa wilayah di Indonesia. Permasalahannya adalah beberapa daerah tersebut (Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung dan Banten) menolak pemberian vaksin polio karena diragukan kehalalannya. Dalam proses pembuatan vaksin tersebut menggunakan ginjal kera sebagai media perkembangbiakan virus.



Memang kalau kita mau telaah lebih lanjut, masih banyak sekali jenis-jenis vaksin yang bersumber dari bahan-bahan yang diharamkan. Seorang pakar dari Amerika mengatakan bahwa vaksin polio dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda dan ekstrak mentah lambung babi.



Selain sumber-sumber di atas, beberapa vaksin juga dapat diperoleh dari aborsi calon bayi manusia yang sengaja dilakukan. Vaksin untuk cacar air, Hepatitis A, dan MMR diperoleh dengan menggunakan fetal cell line yang diaborsi, MRC-5 dan WI-38. Vaksin yang mengandung MRC-5 dan WI-38 adalah beberapa vaksin yang mengandung cell line diploid manusia.



Penggunaan janin bayi yang sengaja digugurkan ini bukan merupakan suatu hal yang dirahasiakan kepada publik. Sel line janin yang biasa digunakan untuk keperluan vaksin biasanya diambil dari bagian paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus dan hati yang diperoleh dari aborsi yang terpisah. Penamaan isolat biasanya dikaitkan dengan sumber yang diperolah. Misalnya WI-38 adalah isolat yang diperoleh dari paru-paru bayi perempuan berumur tiga bulan.



Status Kehalalan

Di lihat dari segi bahan memang masih ada yang meragukan dalam proses pembuatan vaksin. Namun dari segi manfaat, vaksinasi ini cukup efektif dalam menekat tingkat terjangkitnya berbagai penyakit, khususnya yang berkaitan dengan serangan virus.



Di tengah kontroversi tersebut MUI telah menetapkan keputusan No 16 tahun 2005 yang mengeluarkan fatwa kehalalan atas vaksin polio. Hal ini berkaitan dengan suatu kaidah usul fikih yang mengatakan bahwa mencegah kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaatnya. Demikian alasan yang dijadikan dasar hukum pengambilan keputusan terhadap kehalalan vaksin polio sekalipun diketahui bahwa vaksin tersebut disediakan dari bahan yang meragukan. Dalam keadaan darurat, di mana vaksin halal belum ditemukan, maka hal itu bisa dilakukan untuk mencegah mudharat yang lebih besar, yaitu terjangkitnya penyakit yang membahayakan.



Namun demikian kita tidak bisa hanya bertahan pada kondisi darurat, melainkan juga melakukan usaha untuk perbaikan. Seperti misalnya usaha yang akan dilakukan oleh PT Bio Farma yang dalam tiga tahun mendatang akan memproduksi vaksin polio halal. Mudah-mudahan usaha ini segera bisa diwujudkan, sehingga masyarakat bisa lebih diuntungkan dengan ketersediaan vaksin halal. Dengan demikian pencegahan penyakit itu bisa dilakukan dengan bahan-bahan yang berasal dari yang halal.

Elvina Agustin Rahayu dan Nur Wahid, Auditor LPPOM MUI



1 comment:

Anonymous said...

Tambah lah wak